Rabu, Oktober 15, 2008

LIBURAN LEBARAN VANA



.........belajar membuat cerpen..........


Sebetulnya hari ini masih libur karena Vana memang sedang mengambil cuti untuk meneruskan liburan lebaran tahun ini. Namun karena beberapa menit yang lalu ponsel di atas meja berbunyi dan bergetar, yang ternyata sms dari mantan pacarnya. “Entah tahu darimana Syah, sang mantan itu punya nomor ponselku,” gumam Vana setengah neg namun masih terpancar sisa – sisa rasa sayang terhadap pria yang telah mencampakkannya itu.

Tiba – tiba, masih terekam jelas peristiwa sepuluh tahun yang lalu ketika Syah harus meninggalkan dirinya, untuk menempati pos barunya sebagai tenaga pemasar di kota Surabaya. Padahal ketika itu nafas cinta diantara keduanya masih hangat – hangatnya, masih ranum – ranumnya seperti buah semangka di pondok buahnya Pak Di. Ya Pak Di, di pondok buah itu beberapa bulan sebelumnya mereka bertemu dan berkenalan serta berikrar untuk melanjutkan hubungan setelah beberapa minggu kemudian kembali bertemu. Dengan disaksikan oleh belahan buah semangka ranum yang sebagian belahan lainnya dibeli pelanggannya Pak Di.

Mereka sama – sama dua makhluk yang kesepian dan capek serta hampir putus asa untuk mencari cinta sejati kala itu. Karenanya mereka merasa cocok dan sepakat untuk melanjutkan hubungan. “Inilah kapal terakhir yang singgah di pelabuhan hatiku,” pekik Vana sembari melepas gaun yang dikenakan malam itu setelah pulang dari berkencan dengan Syah. Di kamar kostnya di bilangan jalan Pandanaran Semarang. Nampak jelas kebahagiaan yang terpancar di raut wajahnya yang putih bersih seperti kulit bayi.

Serasa baru kemarin saja Vana melepas Syah di terminal bus Terboyo Semarang untuk meneruskan perjalanan ke kota Pahlawan Surabaya. Sampai – sampai Vana ingat betul bus Jawa Indah yang membawa kekasihnya pergi untuk meniti karir itu.

Vana hanya bisa menangis sedih di kamar kostnya sepeninggal Syah, kekasih yang sangat dia cintai itu. Vana takut kehilangan, dia takut cita cintanya akan kembali jatuh terjerembab ke jurang yang semakin dalam.

“Vany…….Vany……sarapan disit mbok, ben maag-e belih kumat,” teriak sang Ibunda sekaligus membuyarkan lamunannya tentang peristiwa sepuluh tahun silam itu.

Di rumah orang tuanya di bilangan perumahan Berkoh Purwokerto itu, Vana menghabiskan liburan lebarannya bersama dengan orang tua semata wayangnya, sang Ibunda tercinta karena Bapak yang dia cintai telah berpulang ke Rahmatullah beberapa tahun silam. Sedangkan adiknya telah kembali ke Jakarta bersama dengan adik ipar dan keponakan – keponakan Vana.

Dia baca isi sms dari Syah, pria yang pernah begitu dia cintai :
“Aing…(demikian panggilan sayang Syah kepada Vana) Mas skrng sdg di Semg tugas ktr bbrp hr, g tau mo nginep dimana,Mas kangen & pengin ktemu,msh kost di tempat yg dl?tks”.

Ternyata sms ini merupakan upaya terakhir Syah untuk dapat menghubungi Vana setelah beberapa panggilan tak terjawab yang terekam di ponsel Samsung i 700 milik Vana.

Dalam kebimbangan antara mau menjawab sms atau tidak menggubrisnya sama sekali, Vana lunglai, lemas, perih karena lukanya belum kering benar meski telah sepuluh tahun silam kejadian itu berlalu. Tiba – tiba rasa rindunya beradu dan berkecamuk dengan rasa marah dan benci. Kebenciannya jauh melebihi tatkala sepuluh tahun silam Syah hilang tanpa kabar sama sekali.

“Kenapa Dia datang kembali disaat aku sudah memutuskan untuk menutup rapat semua pintu untuk semua lelaki,” celotehnya dalam hati.

“Aku sudah merasa bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, materi yang berkecukupan, kehidupan yang mandiri dan tanpa gangguan orang – orang yang dapat membatasi ruang gerakku,” lanjutnya berceloteh di dalam sanubarinya.

“Meski jauh di dalam hatiku, terkadang aku membutuhkan sentuhan lembut tangan kekar seorang lelaki, lelaki yang aku cintai, lelaki yang dapat aku yakini mampu untuk memberikanku sandaran hingga hari tuaku tiba kelak, lelaki yang dapat membahagiakanku sepanjang waktu,” sambungnya masih di dalam hati.

Disambarnya handuk di jemuran samping rumah untuk kemudian dibawa ke kamar mandi, sementara matahari pagipun menyapanya dengan menerawang lekuk – lekuk elok tubuhnya berbalut gaun tidur berbahan sutra yang tipis, masih saja “moleh” ditambah kulit putihnya yang bersih meski usianya kini sudah tidak muda lagi, gurat – gurat kecantikannya masih nampak jelas terlihat meski kerutan – kerutan kulit wajahnya dan beberapa helai uban menghiasi kepalanya.

Vana sedikitpun tidak mempunyai rencana untuk menemui Syah di Semarang. Namun demikian masa liburan lebaran di Purwokerto pun tiba – tiba segera akan diakhiri, untuk selanjutnya menempuh perjalan pulang ke Semarang, dengan mengendarai Honda Jazz warna kuning, warna kesukaan Vana sekaligus Syah.

“Jare rencanane pan nang salon, creambath sekalian mampir nang omahe Bulekmu Sri, karo njaluk digawekna sambele Bulekmu Sri sing uenak kuweh,” ujar Ibunda Vana dengan logat banyumasan campur tegalan sebagai upaya agar kepulangan Vana ditunda besok atau lusa.

“Kenangapa sih buru – buru bae mulih nang Semarang?” lanjut Ibunda Vana sembari tetap berusaha untuk menahan kepulangan anak perempuannya itu.
“Belih kenapa – kenapa, inyong nembe kemutan wis ana janji karo kanca kantor,” jawab Vana sambil nyari – nyari alasan yang pas.

“Ach…Ibu ini tidak tahu bagaimana suasana hati anak perempuanmu sekarang ini, senang-susah-kesal bahkan neg telah teraduk dan bercampur dalam gelas hati yang rasanya semakin rapuh saja,” keluh Vana sembari memasukkan tas dan beberapa bungkusan ke dalam mobilnya.

Dengan setengah hati Ibunda Vana melepas kepulangan Vana ke Semarang dengan menyetir sendiri mobilnya.

Setelah membeli oleh – oleh gethuk Sukaraja dan beberapa oleh – oleh khas Purwokerto lainnya, Vana kembali memacu mobilnya melewati jalanan yang masih saja ramai oleh kendaraan pemudik meski cuti bersama lebaran telah usai beberapa hari yang lalu.

Masih saja berkecamuk di dalam hati Vana, mengingat isi sms dari Syah tadi.

“Tega – teganya kamu memperlakukanku seperti ini Mas,” sambil tak terasa air mata mulai membasahi pipi putih mulusnya yang dulu pernah begitu akrab dengan sentuhan dan belaian sayang lelaki bernama Syah.

Kemudian diusapnya pipi Vana dengan tisu yang sengaja ditaruh di dashboard mobil.

“Aku bukan perempuan ingusan lagi, aku bukan gadis yang baru kenal cinta pertama, aku gak boleh cengeng, apalagi hanya karena urusan laki – laki,” geramnya sambil diiringi alunan musik tape mobil dari lagu – lagu instrument miliknya Yani.

2 komentar:

FAJAR S PRAMONO mengatakan...

Kayaknya aku pernah dengar cerita itu, Mas? Polesan kisah nyata ya? Hahaha!

Good! Dipoles lagi, diperdalam, diperjelas sedikit endingnya, ciamik tuh cerpen!

Nanang B Setiawan : bankir yang juga cerpenis. Wow... :)

Gus-Nhanks mengatakan...

bukan kisah nyata kok Mas, sudah banyak belokkannya, tp thanks ya