Jumat, Agustus 29, 2008

On The Spot

gresik - surabaya - mataram - senggigi
'ayam saliwang-kangkung plecing-sate bulayak'

.............to be continued..........

Senin, Agustus 11, 2008

CITY CAR

Keinginan membeli mobil kecil nan lincah, ber-cc kecil, berbahan bakar irit, ber-pajak kendaraan bermotor tidak mahal, harga terjangkau, tidak ber body protector badan/raga secara langsung. Suzuki Katana GX…… dan sebagai solusi alternative karena kecelakaan sepeda motor yang menimpa istri tercinta beberapa hari yang lalu.



City Car, jenis kendaraan yang satu ini sejak beberapa tahun terakhir banyak kita jumpai melintas di jalan – jalan protokol di Surabaya dan sekitarnya (baca: Gresik dan Sidoarjo). Selain ukuran mobil yang relative kecil, juga lincah sehingga mampu bermanuver di lahan – lahan sempit, ber-cc kecil sehingga tidak membutuhkan asupan bahan bakar yang banyak alias boros, demikian halnya beban pajak yang harus dibayar juga relative tidak mahal, harga baru maupun second-nya tidak terlalu mahal, dan yang paling penting mampu melindungi badan/raga pengendara dari benturan atau tabrakan langsung oleh kendaraan lain.

Untuk mendapatkannya tidak harus dengan membeli mobil baru. Banyak mobil second keluaran tahun 1995 - 2000-an yang kondisinya relative masih bagus. Tinggal disesuaikan dengan isi kantong.

City Car lebih diminati ibu – ibu karena lebih familier dan ‘compatible’ dengan sosok perempuan. Dibanding dengan kendaraan roda dua atau sepeda motor, kelebihan city car ini adalah dapat melindungi pengemudi dari terik panas dan basah karena hujan. Harga second city car jenis tertentu tidak terpaut banyak dengan sepeda motor keluaran terbaru.

Dengan makin banyaknya sepeda motor yang berlalu lalang di jalan – jalan raya di Surabaya, semakin menambah tingkat potensi kecelakaan yang disebabkan karena tidak tertibnya sebagian pengendara sepeda motor yang akhir – akhir ini kerap kita jumpai. Saling serobot, lampu kuning bukannya sebagai peringatan untuk waspada dengan mengurangi kecepatan untuk kemudian berhenti, tetapi lampu kuning diartikan untuk menambah dalam tarikan pedal gas agar dapat lolos dari sergapan lampu merah.
Dan tidak kalah berbahayanya juga pada saat menanti lampu hijau akan segera menyala sebagai tanda semua kendaraan diperbolehkan untuk berjalan namun lampu masih berwarna merah, terdapat sebagian pengendara kendaraan terutama sepeda motor langsung tancap gas untk melaju, akibatnya dari sisi jalan yang lain masih menyala lampu hijau yang kemudian beralih menyala menjadi lampu kuning, meluncur kendaraan lain dengan kecepatan tinggi, karena tidak ingin berhenti gara – gara harus mengurangi kecepatan karena lampu menyala kuning untuk kemudian menyala merah sebagai tanda semua kendaraan harus berhenti. Brrraaakkk…….! Terjadilah kecelakaan…..!!

Kecelakan tidak bakalan terjadi apabila semua pengendara mematuhi peraturan berlalu lintas di jalan raya. Kehati-hatian dan upaya meminimze kecelakaan dapat dicegah dan diantisipasi oleh masing – masing individu. Salah satu solusinya seperti yang telah diutarakan diatas.

Dengan city car, seorang suami tidak perlu was – was lagi melihat kenyataan bahwa istrinya mengalami kecelakaan sebagai akibat sepeda motornya ditabrak oleh anak muda yang sedang kebut – kebutan di jalan raya metropolis Surabaya.

Sekian,

Minggu, Agustus 10, 2008

PERSIMPANGAN



Beberapa pekan yang lalu saya di telepon Pak Sukaris, dosen juga mantan Ketua Jurusan Ekonomi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Gresik yang intinya :

1. Saya diminta untuk segera mengurus ijazah atau tanda kelulusan S1 yang masih terdampar
di kampus yang sama sejak setahun silam (sebelumnya saya hanya lulusan D3 dari Stikubank Semarang angkatan 88 kemudian melanjutkan ke S1 pada tahun 2001, lulus pada tahun 2007 setelah malas mengerjakan skripsi selama 4 tahun), untuk segera di serahkan kepada Ibu Rosi/Ketua Jurusan Ekonomi Manajemen yang baru.
2. Telah dibuatkan jadwal mengajar dosen tidak tetap untuk mata kuliah ekonomi perbankan, jadwalnya sore hari dari jam 16.00 sd 19.30 tiap - tiap hari sabtu.
3. Kalo point Pertama tidak segera di penuhi, masih diberi kesempatan untuk mengajar di semester depannya, karena sampai detik terakhir batas waktu yang ditoleransikan kepada saya oleh fakultas syarat tersebut belum juga saya tindak lanjuti.


Alasan saya untuk berpikir kembali tentang 'ambisi pribadi' :

1. Hari Sabtu merupakan saat off dan hari khusus untuk keluarga (kecuali kalo ada acara resmi kantor yang mewajibkan saya untuk hadir di kantor).
2. Suatu ketika, di hari Sabtu sore (dijadikan anak-anak menjadi acara rutin jalan-jalan sore), anak-anak mengajak untuk sekedar melepaskan kepenatan setelah satu minggu sekolah (terutama yang besar karena padatnya pelajaran kelas 1 SD).
3. Tidak tega rasanya untuk tidak meng-iyakan permintaan buah hati kami.

Lain - lain :
1. Saya belum memutuskan jadi mengajar ato tidak, toch saya masih diberikan kelonggaran sampai dengan semester depan.
2. Saya takut tidak mampu membagi waktu, untuk keluarga, terutama kepada anak-anak yang masih membutuhkan kedekatan dengan Bapaknya.
3. Kesempatan langka ini tidak akan datang untuk yang kedua kali kepada diri saya, diambil ato hilang selamanya.

Entahlah.......


Rabu, Agustus 06, 2008

"GAJIAN"

Mengenang masa kecil di sebuah kota kecil di penghujung paling timur propinsi jawa tengah, kota Rembang tercinta.


Saat yang selalu ditunggu – tunggu? Tidak juga.

Ada yang menerima pada saat tanggal muda, adapula yang menerima di saat tanggal tua. Menerima gaji duluan kerja belakangan biasanya diberikan pemberi kerja pada tanggal muda, kalangan ini pada umumnya berasal dari kalangan pamongpraja sedangkan kalangan pekerja yang terima gaji di tanggal tua dan harus kerja duluan berasal dari kalangan swasta atau perusahaan.

Ada pula yang menerima gaji tiap – tiap minggu. Semua bergantung dari para pemberi kerja.

Idealnya pada saat tanggal menerima ‘gajian’ perasaan berbunga – bunga menyelimuti, nyatanya uang gajian hanya tempat ‘transit’ . Untuk keperluan iuran bulanan : bayar angsuran kredit bank, angsuran rumah, angsuran kendaraan, abonemen listrik & air, tv kabel serta telepon dll, uang sekolah anak, belanja kebutuhan pokok bulanan, iuran rutin RT, sumbangan orang punya kerja, cadangan keluarga sakit, service & ganti olie kendaraan, halah pusing…..!!??

“Kepusingan” itu bersumber dari diri kita sendiri yang selalu mengkondisikannya. Bagaimana tidak, gaji yang seharusnya cukup untuk sebulan dipergunakan untuk pengajuan permohonan hutang yang pada akhirnya menambah kewajiban angsuran setiap bulannya. Kenaikan kesejahteraan dari pemberi kerja yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk kenaikan gaji, oleh kita dipergunakan untuk keperluan meningkatkan plafond pinjaman dari perhitungan kelonggaran tarik atas kenaikan gaji itu. Akibatnya kenaikan gaji tidak berdampak terhadap kesejahteraan yang diharapkan oleh pemberi kerja. Lebih - lebih apabila penambahan plafond pinjaman tersebut dipergunakan untuk keperluan – keperluan yang sifatnya konsumtif. Telak tak ada artinya nilai uang tersebut.

Bukan sesuatu yang salah apabila penambahan plafond pinjaman tersebut dipergunakan untuk kepentingan yang sifatnya konsumtif, mungkin kebutuhan konsumtif itu wajib dipenuhi dan tidak dapat dihindari lagi. Bayangkan saja apabila kebutuhan mendesak tersebut untuk membayar biaya Rumah Sakit atau Dokter.

Saat ‘gajian’ seharusnya menjadi moment yang menggembirakan bukan sebaliknya. Berapapun gaji yang diterima tidak serta merta menjadi parameter seseorang dapat dikategorikan cukup dan mampu secara finansial. Gaji boleh besar namun akan tergerus dengan gaya hidup yang berlebihan dan konsumtif, sehingga uang yang diterima tidak memberikan manfaat sedikitpun, selalu kurang dan kurang. Sebaliknya dengan gaji yang kecil belum tentu disebut kekurangan secara finansial, tinggal bagaimana seseorang memanage dan bersikap di dalam situasi yang serba sulit ini.
Bahkan yang sering terjadi adalah semakin besar gaji yang diterima semakin banyak ‘kebutuhan’ yang harus dipenuhi, terutama kebutuhan sekunder yang menyangkut kepada gaya hidup dan bukan kebutuhan primer seseorang.

Marilah mulai dari sekarang, kita semua harus ‘pintar – pintar’ untuk bersikap agar pengelolaan keuangan keluarga dapat tepat guna dan sasaran. Karena dengan besar pasak daripada tiang akan memancing orang untuk mencari – cari dan berbuat negatif, dengan merugikan orang lain bahkan negara, dengan cara – cara seperti menipu dan korupsi misalnya. Kebohongan akan menimbulkan kebohongan yang lain, lantas apa artinya membina keluarga, kehancuran masa depan anak – anak dan keluarga nyata di depan mata, sungguh penyesalan yang tiada guna.

Gajian, merupakan moment untuk mempererat hubungan antar keluarga, ya anak ya bapak ya ibu, semuanya, seperti yang pernah saya rasakan dulu, saat keluarga tempo dulu belum mengenal lebih jauh dengan yang namanya fasilitas kredit konsumtif.
Tanggal muda merupakan ‘moment’ yang kami tunggu – tunggu sebagai anak dari kedua orang tua kami. Sekedar mampir untuk beli es campurnya Pak Jon di sebelah bekas gedung bioskop atau terkadang makan bareng dengan Bapak di warung nasi gandulnya Bu Sapto di Jl Gambiran, sekali tempo makan rawon bersama keluarga di rawonnya Pak Brengos depan pasar, juga pada saat musim penghujan makan sate kambing muda di depan bekas gedung bioskop, kesemua ‘moment’ tersebut masih terengkam jelas di benak kami, anak – anak Bapak (suargi) dan Ibu saat menjalani masa sekolah di sebuah kota kecil di penghujung paling timur propinsi Jawa Tengah.

Pesannya;
Gajian, semestinya tidak hanya sebesar enam puluh prosen saja yang kita bawa pulang!

Sekian,

Senin, Agustus 04, 2008


Peringatan toedjoeh belas agoestoes tahoen empat poeloeh lima, di tahun 2008 ini.

“TETAP PEKIKKAN MERDEKA”

Setidaknya nanti pada tanggal 17 dibulan ini kita bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-63.

Kemudian saya melihat tanggal merah di almanak, “Lho kok Proklamasi Kemerdekan RI nya tanggal 17 tapi tanggal 18 ikut libur?”.

Mungkin yang dimaksud adalah acara seremonial yang selalu didahului dengan menaikkan sang saka merah putih tetap dilakukan pada tanggal keramat tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pada hari seninnya tanggal 18 menjadi hari libur nasional?

Kalau dikatakan dengan memperbanyak hari libur dapat meningkatkan peluang kunjungan wisata terutama wisata domestik, rasanya terlalu berlebihan. Mayoritas warga kita masih dalam taraf pemulihan atau bahkan sebagian yang lain masih belum memasuki taraf pulih, setelah diserang inflasi yang tak kunjung ‘ejakulasi’ sebagai akibat ‘penyesuaian harga bahan bakar minyak yang ditetapkan pemerintah sejak 24 mei lalu’.

“Uang darimana Pak, lha wong barusan ini saya memperpanjang utang di bank sampeyan untuk mbayar biaya sekolah anak-anak, kok sempat – sempate mikir wisata, bisa buat makan saja sudah untung,”

Demikian kata kerabat yang sehari-hari bekerja di instansi pemerintah alias pamongpraja menegaskan kembali bahwa betapa dahsyatnya dampak kebingungan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak dunia terhadap kehidupan masyarakat kecil di negeri ini.

Bukan berkeinginan agar disebut sebagai warga negara yang mempunyai produktifitas tinggi, masalahnya dengan penerapan lima hari kerja saja, produktifitas yang kita berikan belum tercapai secara optimal, masih banyak lubang – lubang menganga di sana sini, masih belum banyak prestasi yang tercatat, target – target belum juga mencapai lima puluh prosen padahal bulan sudah menginjak bulan ke delapan di tahun dua ribu delapan ini. Juga perilaku kita masih jauh dari harapan, anti korupsi hanya menciptakan buih di bibir belum berupa tindakan – tindakan konkrit. Kalaupun tidak korupsi uang yang berakibat merugikan negara dan rakyat selaku pembayar pajak, sejauh ini kita para pekerja di level yang sama sekali tidak memiliki bargainning power masih saja melakukan hal – hal tidak terpuji, kalau tidak korupsi waktu ya korupsi pulsa kantor dengan melakukan panggilan telepon dan browsing internet diluar kepentingan dinas, ‘inilah wabah korupsi yang telah menyentuh semua sendi aparat negara’.

Enam puluh tiga tahun lamanya sejak bangsa kita merdeka secara fisik oleh kaum imperialis, namun masih saja belum merdeka secara utuh, kiblat kita masih negara – negara barat yang menganut liberalis dan kapitalis. Kitapun masih tunduk dengan perdagangan bebas yang dicanangkan negara – negara maju, yang jelas – jelas merugikan pelaku bisnis dan rakyat Indonesia karena ketidaksiapan kita dalam kompetisi global. Kita masih sangat bergantung oleh negara lain.

Sejatinya kita masih terbelenggu dan kembali ke zaman kerajaan Majapahit, Demak dan Mataram. Dimana, raja – raja dahulu kala mengalami metamorfosis berubah menjadi penguasa – penguasa daerah yang terdiri dari adipati – adipati dan kumpulan nayakapraja, dengan melalui otonomi daerah para penguasa berupaya semaksimal mungkin untuk terus meningkatkan upeti melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), peluang yang berpotensi meningkatkan PAD di sah dan legalkan untuk terus menumpuk pundi – pundi kas daerah. Ironisnya upeti – upeti itu tidak seratus prosen mengalir untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Jangankan bermimpi PAD untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat dengan nilai seratus prosen, terlalu naïf, dapat mencapai separuhnya saja itu sudah bagus. Lalu yang lain kemana? Wallahualam…..

BUKTINYA?!
Segala macam dalih dan pembenaran telah mereka siapkan, manuverpun telah lihai mereka kuasai dan menjadi kebiasaan serta telah berakar menjadi budaya. Mereka diibaratkan seperti belut yang diberi olie, licin dan pintar merangkai trik – trik agar korupsi berjamaahnya tetap langgeng dan berjalan lancar karena sulit disentuh namun kita warga awam jelas melihat ‘melo – melo’.

Yang jelas dan yang sedang dirasakan saat ini, dengan adanya raja – raja lokal, tidak sedikitpun mampu mengentaskan penderitaan kaum papa, mereka rakyat awam hanya populer kala musim Pilkada tiba.

Mungkin sekedar mendeskrepsikan bahwa pelanggaran itu ternyata ada, banyak orang sudah mengetahuinya :

Pertama; Jalan sebagai sarana transportasi yang dapat dikatakan sebagai modal awal dan utama kelancaran usaha, yaitu sebagai sarana berlalu lalangnya kendaraan untuk mengangkut hasil bumi dan mendatangkan bahan kebutuhan lainnya dari dan ke desa – desa, belum sepenuhnya terpelihara dan tercipta secara baik. Masih terlihat dan dirasakan masyarakat pelaku bisnis banyak jalan berlubang di depan mata, di depan lingkungan – lingkungan industri yang sampai berbulan – bulan tidak diperbaiki. Yang mengakibatkan terganggunya distribusi barang sampai ke tempat tujuan secara cepat.

Kedua; Demikian halnya dengan sarana dan prasarana kesehatan belum juga berpihak kepada rakyat papa. Kelancaran proses birokrasi hanya terlihat di iklan – iklan media yang akhir – akhir ini nampak gencar disosialisasikan oleh departemen terkait. Mereka para pelayan kesehatan masih bertampang sangar dan setengah hati saat melayani pasien tidak mampu. Pasien tidak mampu diibaratkan seonggok daging tanpa nyawa.

Ketiga; Lebih ironis lagi bahkan kita akan lebih nelongso lagi kalau berbicara masalah pendidikan.
Seorang teman yang telah berumur bercerita kepada saya, tentang anaknya yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sekarang ini betapa sulitnya untuk menembus sekolah negeri favorit/bagus.
“Untuk dapat sekolah di zaman edan ini tidak cukup hanya anaknya saja yang pintar, mesti di dukung dengan ketersediaan dana yang besar dari orang tua siswa”.
Masih mendingan anaknya tidak pintar – pintar amat akan tetapi orang tuanya mampu menyediakan dana yang bejibun. Untuk menyumbang kelangsungan hidup ‘sekolah’. Apalagi untuk tingkat perguruan tinggi, diantara mereka berdua yaitu mahasiswa yang lolos melalui jalur regular dengan mahasiswa yang lolos melalui jalur khusus, tidak dibedakan Nomor Induk (Registrasi) Mahasiswa. Padahal jelas – jelas keduanya terdapat perbedaan dari segi kualitas. Yang satu membeli dengan kemampuan otak, sementara yang lain membeli dengan materi (baca: uang yang banyak).

Keempat; Sementara fenomena lain, sebagian diantara mereka para pamongpraja dan nayakapraja (meminjam istilah ‘Panji Koming Kocaknya Zaman Kala Bendhu’-nya Dwi Koendoro Br) banyak yang tertangkap menjadi maling.
Telah sejak lama, kami masyarakat awam cukup punya alasan (meskipun sangat sulit untuk diteruskan ke ranah hukum karena ketidaktersediaan bukti yang cukup) untuk ‘skeptis’ terhadap para pamongpraja.

Mari kita lihat bagaimana seorang pamongpraja, mampu menjalani ‘gaya hidup’ dengan tinggal di lingkungannya, memiliki mobil dengan harga ratusan juta rupiah, beserta assesoris yang melekat di tubuhnya, handphone mutakhir, perhiasan emas bagus dan mahal, pakaian yang tidak murah, belanja bulanannyapun ke pasar – pasar modern yang banyak bertebaran di kota besar. Anak – anak mereka hidup berkecukupan sementara sang Bapak pekerjaannya hanya sebagai pamongpraja tidak memiliki usaha karena tidak punya jiwa entrepreneur, bukan berasal dari keluarga kaya sehingga tidak mungkin mendapatkan warisan yang bejibun.
Lalu darimana dana yang dipergunakan untuk dapat menjalani ‘gaya hidup’ demikian.
Kata Ebiet G A D “kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang.”

Yang keterlaluan, kita hanya diminta untuk tetap sabar, katanya “siapa menanam pohon mangga akan memetik buah mangga, bukan buah yang lain.” Padahal di zaman sekarang ini, tanpa menanam pohon buah pun kita dapat menikmati buahnya di pasar buah, beli kemudian dikupas di rumah.
Kesabaran tetap berujung, masalahnya yang diemban pamongpraja adalah amanat rakyat yang harus dilakukan secara jujur dan adil, apalagi pada saat akan menjadi pamongpraja dulu mereka disumpah sesuai dengan agamanya masing – masing. Artinya perilaku mereka telah berkhianat terhadap Tuhannya.

Kelima dan seterusnya; Terangkum dan dikemas rapi didalam melakukan korupsi secara bersama – sama, telah menjadi budaya dan berakar dalam serta kuat mencengkeram bumi, dengan memelihara bersama ketidakbenaran demi kepentingan perorangan atau paling – paling maksimal untuk kepentingan golongannya. Bukan diatas segala kepentingan yaitu kepentingan bangsa dan negara.
Peringatan Kemerdekaan RI yang ke enam puluh tiga tahun ini harusnya tidak sekedar menjalankan ritual seremonial belaka, tindakan konkrit lebih diutamakan dan dihargai layaknya sebagai pahlawan baru dalam rangka mengisi kemerdekaan. Tidak perlu dengan mengangkat senjata untuk mendapatkan tempat di Makam Pahlawan kelak. Dan sebaliknya, jangan sampai masa tua berakhir di balik pengapnya jeruji penjara, hanya karena mengkhianati amanat yang di titipkan rakyat, berbuat kriminal dengan melakukan tindakan yang dapat merugikan negara demi menumpuk kekayaan pribadi.

Tetap pekikkan MERDEKA,
Semangat muda,
Berjuang demi bangsa dan negara ,
Tidak harus dengan ‘mikul duwur mendhem jero’ untuk generasi pendahulu yang tidak benar,
Tidak perlu harus melakukan ‘genocide’ terhadap generasi tua yang tidak tahu malu,

TETAP MERDEKA

Salam,