Kamis, Juli 24, 2008

nasi pecel kembang turi di atas kereta api rajawali


mbujang di atas kereta api rajawali

Suasana siang itu di Stasiun Kereta Api Pasar Turi Surabaya ramai sekali. Jarum jam masih menunjuk di angka dua kurang seperempat. Calon penumpang yang mau bepergian dengan tujuan akhir kota Semarang sudah mulai berdatangan. Tempat duduk executive lounge pun penuh sesak.

Tepat pukul dua siang, hampir semua penumpang telah menempati tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiketnya masing – masing. Kemudian, tak lama berselang kereta executive Rajawali jurusan Surabaya – Semarang itupun mulai bergerak dan meninggalkan stasiun.

Kurang lebih dua jam berselang keretapun di rem dan kecepatannyapun mulai dikurangi karena hendak memasuki stasiun kecil di kota Bojonegoro. Waktu pemberhentian tak lebih dari lima menit, serasa dikomando beberapa penumpang segera menuju pintu masing – masing gerbong, bukan untuk turun namun untuk sekedar menikmati “nasi pecel” khas Bojonegoro. Ya, nasi pecel beralaskan daun pisang, dengan beragam sayur plus sayur khusus yang bernama “kembang turi” yang disertai pilihan lauk telor dadar, sate telor, dadar jagung, peyek kacang ditaburi dengan sambel pecel yang khusus dijual di depan pintu gerbong kereta api yang sedang berhenti sejenak.

Dengan hanya merogoh kocek lima ribu rupiah, perut lapar pun terpuaskan sudah. Meski harga yang ditawarkan tergolong murah tidak berarti nasi pecel “kembang turi” murahan, apalagi jorok, jauh sekali dari kesan seperti itu. Nasi putihnya di bungkus rapat dengan daun pisang, sementara sayur, lauk dan sambel pecelnya yang ditutupi plastik transparan hanya dibuka pada saat sang Ibu penjual melayani para pembeli. Meminjam istilahnya Pak Bondan Winarno “wis pokoke maknyus”. Atau barangkali Pak Bondan yang suka tampil dalam wisata kuliner di salah satu acara televisi swasta itu perlu melakukan peliputan memberikan apresiasi terhadap nasi pecel “kembang turi” di stasiun Bojonegoro.

Yang muda, yang tua, yang cantik, yang perlente, yang modis, yang suka jaim, ternyata masih juga doyan makan nasi pecel. Makanan yang diidentikkan dengan makanan “wong ndeso” ini mampu memukau dan menarik perhatian sebagian penumpang ketimbang makanan yang sering ditawarkan diatas kereta oleh pramugari kereta api. Barangkali makanan yang dijual di atas kereta itu terlampau mahal atau merupakan menu makanan yang sering kita temui, sehingga membosankan dan diperlukan variasi menu serta suasana lain agar terasa beda.

Apapun alasannya nasi pecel “kembang turi” memang terasa nikmat untuk disantap diatas kereta yang sedang berjalan. Sambil menikmati pepohonan jati di kejauhan yang memang banyak tumbuh di sepanjang jalur yang dilewati kereta api, belum lagi hamparan sawah yang mulai menguning siap untuk dipanen serta suasana panen padi oleh sebagian petani di wilayah Bojonegoro.

Tak terasa nasi pecel “kembang turi” dengan lauk telor dadar dan peyek kacang diatas genggaman tanganku telah habis kusantap. Rasa kantuk mulai menggoda, menari – nari di sekitar kelopak mata, perjalanan pun masih sekitar tiga jam lagi. Angankupun mulai melayang…….

‘Esok, ketika perjalanan pulang balik dari Semarang menuju Surabaya, pastinya kusempatkan untuk sekedar melepas lapar dengan menikmati nasi pecel “kembang turi” di stasiun Bojonegoro’.

Nasi pecel “kembang turi” nikmatimu srasa beda, hargamu murah meriah dan terjangkau.

Tidak ada komentar: