Senin, Agustus 04, 2008


Peringatan toedjoeh belas agoestoes tahoen empat poeloeh lima, di tahun 2008 ini.

“TETAP PEKIKKAN MERDEKA”

Setidaknya nanti pada tanggal 17 dibulan ini kita bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-63.

Kemudian saya melihat tanggal merah di almanak, “Lho kok Proklamasi Kemerdekan RI nya tanggal 17 tapi tanggal 18 ikut libur?”.

Mungkin yang dimaksud adalah acara seremonial yang selalu didahului dengan menaikkan sang saka merah putih tetap dilakukan pada tanggal keramat tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pada hari seninnya tanggal 18 menjadi hari libur nasional?

Kalau dikatakan dengan memperbanyak hari libur dapat meningkatkan peluang kunjungan wisata terutama wisata domestik, rasanya terlalu berlebihan. Mayoritas warga kita masih dalam taraf pemulihan atau bahkan sebagian yang lain masih belum memasuki taraf pulih, setelah diserang inflasi yang tak kunjung ‘ejakulasi’ sebagai akibat ‘penyesuaian harga bahan bakar minyak yang ditetapkan pemerintah sejak 24 mei lalu’.

“Uang darimana Pak, lha wong barusan ini saya memperpanjang utang di bank sampeyan untuk mbayar biaya sekolah anak-anak, kok sempat – sempate mikir wisata, bisa buat makan saja sudah untung,”

Demikian kata kerabat yang sehari-hari bekerja di instansi pemerintah alias pamongpraja menegaskan kembali bahwa betapa dahsyatnya dampak kebingungan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak dunia terhadap kehidupan masyarakat kecil di negeri ini.

Bukan berkeinginan agar disebut sebagai warga negara yang mempunyai produktifitas tinggi, masalahnya dengan penerapan lima hari kerja saja, produktifitas yang kita berikan belum tercapai secara optimal, masih banyak lubang – lubang menganga di sana sini, masih belum banyak prestasi yang tercatat, target – target belum juga mencapai lima puluh prosen padahal bulan sudah menginjak bulan ke delapan di tahun dua ribu delapan ini. Juga perilaku kita masih jauh dari harapan, anti korupsi hanya menciptakan buih di bibir belum berupa tindakan – tindakan konkrit. Kalaupun tidak korupsi uang yang berakibat merugikan negara dan rakyat selaku pembayar pajak, sejauh ini kita para pekerja di level yang sama sekali tidak memiliki bargainning power masih saja melakukan hal – hal tidak terpuji, kalau tidak korupsi waktu ya korupsi pulsa kantor dengan melakukan panggilan telepon dan browsing internet diluar kepentingan dinas, ‘inilah wabah korupsi yang telah menyentuh semua sendi aparat negara’.

Enam puluh tiga tahun lamanya sejak bangsa kita merdeka secara fisik oleh kaum imperialis, namun masih saja belum merdeka secara utuh, kiblat kita masih negara – negara barat yang menganut liberalis dan kapitalis. Kitapun masih tunduk dengan perdagangan bebas yang dicanangkan negara – negara maju, yang jelas – jelas merugikan pelaku bisnis dan rakyat Indonesia karena ketidaksiapan kita dalam kompetisi global. Kita masih sangat bergantung oleh negara lain.

Sejatinya kita masih terbelenggu dan kembali ke zaman kerajaan Majapahit, Demak dan Mataram. Dimana, raja – raja dahulu kala mengalami metamorfosis berubah menjadi penguasa – penguasa daerah yang terdiri dari adipati – adipati dan kumpulan nayakapraja, dengan melalui otonomi daerah para penguasa berupaya semaksimal mungkin untuk terus meningkatkan upeti melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), peluang yang berpotensi meningkatkan PAD di sah dan legalkan untuk terus menumpuk pundi – pundi kas daerah. Ironisnya upeti – upeti itu tidak seratus prosen mengalir untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Jangankan bermimpi PAD untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat dengan nilai seratus prosen, terlalu naïf, dapat mencapai separuhnya saja itu sudah bagus. Lalu yang lain kemana? Wallahualam…..

BUKTINYA?!
Segala macam dalih dan pembenaran telah mereka siapkan, manuverpun telah lihai mereka kuasai dan menjadi kebiasaan serta telah berakar menjadi budaya. Mereka diibaratkan seperti belut yang diberi olie, licin dan pintar merangkai trik – trik agar korupsi berjamaahnya tetap langgeng dan berjalan lancar karena sulit disentuh namun kita warga awam jelas melihat ‘melo – melo’.

Yang jelas dan yang sedang dirasakan saat ini, dengan adanya raja – raja lokal, tidak sedikitpun mampu mengentaskan penderitaan kaum papa, mereka rakyat awam hanya populer kala musim Pilkada tiba.

Mungkin sekedar mendeskrepsikan bahwa pelanggaran itu ternyata ada, banyak orang sudah mengetahuinya :

Pertama; Jalan sebagai sarana transportasi yang dapat dikatakan sebagai modal awal dan utama kelancaran usaha, yaitu sebagai sarana berlalu lalangnya kendaraan untuk mengangkut hasil bumi dan mendatangkan bahan kebutuhan lainnya dari dan ke desa – desa, belum sepenuhnya terpelihara dan tercipta secara baik. Masih terlihat dan dirasakan masyarakat pelaku bisnis banyak jalan berlubang di depan mata, di depan lingkungan – lingkungan industri yang sampai berbulan – bulan tidak diperbaiki. Yang mengakibatkan terganggunya distribusi barang sampai ke tempat tujuan secara cepat.

Kedua; Demikian halnya dengan sarana dan prasarana kesehatan belum juga berpihak kepada rakyat papa. Kelancaran proses birokrasi hanya terlihat di iklan – iklan media yang akhir – akhir ini nampak gencar disosialisasikan oleh departemen terkait. Mereka para pelayan kesehatan masih bertampang sangar dan setengah hati saat melayani pasien tidak mampu. Pasien tidak mampu diibaratkan seonggok daging tanpa nyawa.

Ketiga; Lebih ironis lagi bahkan kita akan lebih nelongso lagi kalau berbicara masalah pendidikan.
Seorang teman yang telah berumur bercerita kepada saya, tentang anaknya yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sekarang ini betapa sulitnya untuk menembus sekolah negeri favorit/bagus.
“Untuk dapat sekolah di zaman edan ini tidak cukup hanya anaknya saja yang pintar, mesti di dukung dengan ketersediaan dana yang besar dari orang tua siswa”.
Masih mendingan anaknya tidak pintar – pintar amat akan tetapi orang tuanya mampu menyediakan dana yang bejibun. Untuk menyumbang kelangsungan hidup ‘sekolah’. Apalagi untuk tingkat perguruan tinggi, diantara mereka berdua yaitu mahasiswa yang lolos melalui jalur regular dengan mahasiswa yang lolos melalui jalur khusus, tidak dibedakan Nomor Induk (Registrasi) Mahasiswa. Padahal jelas – jelas keduanya terdapat perbedaan dari segi kualitas. Yang satu membeli dengan kemampuan otak, sementara yang lain membeli dengan materi (baca: uang yang banyak).

Keempat; Sementara fenomena lain, sebagian diantara mereka para pamongpraja dan nayakapraja (meminjam istilah ‘Panji Koming Kocaknya Zaman Kala Bendhu’-nya Dwi Koendoro Br) banyak yang tertangkap menjadi maling.
Telah sejak lama, kami masyarakat awam cukup punya alasan (meskipun sangat sulit untuk diteruskan ke ranah hukum karena ketidaktersediaan bukti yang cukup) untuk ‘skeptis’ terhadap para pamongpraja.

Mari kita lihat bagaimana seorang pamongpraja, mampu menjalani ‘gaya hidup’ dengan tinggal di lingkungannya, memiliki mobil dengan harga ratusan juta rupiah, beserta assesoris yang melekat di tubuhnya, handphone mutakhir, perhiasan emas bagus dan mahal, pakaian yang tidak murah, belanja bulanannyapun ke pasar – pasar modern yang banyak bertebaran di kota besar. Anak – anak mereka hidup berkecukupan sementara sang Bapak pekerjaannya hanya sebagai pamongpraja tidak memiliki usaha karena tidak punya jiwa entrepreneur, bukan berasal dari keluarga kaya sehingga tidak mungkin mendapatkan warisan yang bejibun.
Lalu darimana dana yang dipergunakan untuk dapat menjalani ‘gaya hidup’ demikian.
Kata Ebiet G A D “kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang.”

Yang keterlaluan, kita hanya diminta untuk tetap sabar, katanya “siapa menanam pohon mangga akan memetik buah mangga, bukan buah yang lain.” Padahal di zaman sekarang ini, tanpa menanam pohon buah pun kita dapat menikmati buahnya di pasar buah, beli kemudian dikupas di rumah.
Kesabaran tetap berujung, masalahnya yang diemban pamongpraja adalah amanat rakyat yang harus dilakukan secara jujur dan adil, apalagi pada saat akan menjadi pamongpraja dulu mereka disumpah sesuai dengan agamanya masing – masing. Artinya perilaku mereka telah berkhianat terhadap Tuhannya.

Kelima dan seterusnya; Terangkum dan dikemas rapi didalam melakukan korupsi secara bersama – sama, telah menjadi budaya dan berakar dalam serta kuat mencengkeram bumi, dengan memelihara bersama ketidakbenaran demi kepentingan perorangan atau paling – paling maksimal untuk kepentingan golongannya. Bukan diatas segala kepentingan yaitu kepentingan bangsa dan negara.
Peringatan Kemerdekaan RI yang ke enam puluh tiga tahun ini harusnya tidak sekedar menjalankan ritual seremonial belaka, tindakan konkrit lebih diutamakan dan dihargai layaknya sebagai pahlawan baru dalam rangka mengisi kemerdekaan. Tidak perlu dengan mengangkat senjata untuk mendapatkan tempat di Makam Pahlawan kelak. Dan sebaliknya, jangan sampai masa tua berakhir di balik pengapnya jeruji penjara, hanya karena mengkhianati amanat yang di titipkan rakyat, berbuat kriminal dengan melakukan tindakan yang dapat merugikan negara demi menumpuk kekayaan pribadi.

Tetap pekikkan MERDEKA,
Semangat muda,
Berjuang demi bangsa dan negara ,
Tidak harus dengan ‘mikul duwur mendhem jero’ untuk generasi pendahulu yang tidak benar,
Tidak perlu harus melakukan ‘genocide’ terhadap generasi tua yang tidak tahu malu,

TETAP MERDEKA

Salam,

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Enak betul libur panjang. Rencananya AO's & the comandante of Koedoes, mau piknik ke Bromo, mampir ke lokasi lumpur, sekalian on the spot ke Jombang, mau lihat arena penjagalan . Ini beneran, sudah kami rencanakan lama loh Mas.

Gus-Nhanks mengatakan...

wah wah disini ao nya sibuk sendiri2 jadi susah kalo mau ngadain acara gituan, musti ngajak keluarga