Rabu, Agustus 06, 2008

"GAJIAN"

Mengenang masa kecil di sebuah kota kecil di penghujung paling timur propinsi jawa tengah, kota Rembang tercinta.


Saat yang selalu ditunggu – tunggu? Tidak juga.

Ada yang menerima pada saat tanggal muda, adapula yang menerima di saat tanggal tua. Menerima gaji duluan kerja belakangan biasanya diberikan pemberi kerja pada tanggal muda, kalangan ini pada umumnya berasal dari kalangan pamongpraja sedangkan kalangan pekerja yang terima gaji di tanggal tua dan harus kerja duluan berasal dari kalangan swasta atau perusahaan.

Ada pula yang menerima gaji tiap – tiap minggu. Semua bergantung dari para pemberi kerja.

Idealnya pada saat tanggal menerima ‘gajian’ perasaan berbunga – bunga menyelimuti, nyatanya uang gajian hanya tempat ‘transit’ . Untuk keperluan iuran bulanan : bayar angsuran kredit bank, angsuran rumah, angsuran kendaraan, abonemen listrik & air, tv kabel serta telepon dll, uang sekolah anak, belanja kebutuhan pokok bulanan, iuran rutin RT, sumbangan orang punya kerja, cadangan keluarga sakit, service & ganti olie kendaraan, halah pusing…..!!??

“Kepusingan” itu bersumber dari diri kita sendiri yang selalu mengkondisikannya. Bagaimana tidak, gaji yang seharusnya cukup untuk sebulan dipergunakan untuk pengajuan permohonan hutang yang pada akhirnya menambah kewajiban angsuran setiap bulannya. Kenaikan kesejahteraan dari pemberi kerja yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk kenaikan gaji, oleh kita dipergunakan untuk keperluan meningkatkan plafond pinjaman dari perhitungan kelonggaran tarik atas kenaikan gaji itu. Akibatnya kenaikan gaji tidak berdampak terhadap kesejahteraan yang diharapkan oleh pemberi kerja. Lebih - lebih apabila penambahan plafond pinjaman tersebut dipergunakan untuk keperluan – keperluan yang sifatnya konsumtif. Telak tak ada artinya nilai uang tersebut.

Bukan sesuatu yang salah apabila penambahan plafond pinjaman tersebut dipergunakan untuk kepentingan yang sifatnya konsumtif, mungkin kebutuhan konsumtif itu wajib dipenuhi dan tidak dapat dihindari lagi. Bayangkan saja apabila kebutuhan mendesak tersebut untuk membayar biaya Rumah Sakit atau Dokter.

Saat ‘gajian’ seharusnya menjadi moment yang menggembirakan bukan sebaliknya. Berapapun gaji yang diterima tidak serta merta menjadi parameter seseorang dapat dikategorikan cukup dan mampu secara finansial. Gaji boleh besar namun akan tergerus dengan gaya hidup yang berlebihan dan konsumtif, sehingga uang yang diterima tidak memberikan manfaat sedikitpun, selalu kurang dan kurang. Sebaliknya dengan gaji yang kecil belum tentu disebut kekurangan secara finansial, tinggal bagaimana seseorang memanage dan bersikap di dalam situasi yang serba sulit ini.
Bahkan yang sering terjadi adalah semakin besar gaji yang diterima semakin banyak ‘kebutuhan’ yang harus dipenuhi, terutama kebutuhan sekunder yang menyangkut kepada gaya hidup dan bukan kebutuhan primer seseorang.

Marilah mulai dari sekarang, kita semua harus ‘pintar – pintar’ untuk bersikap agar pengelolaan keuangan keluarga dapat tepat guna dan sasaran. Karena dengan besar pasak daripada tiang akan memancing orang untuk mencari – cari dan berbuat negatif, dengan merugikan orang lain bahkan negara, dengan cara – cara seperti menipu dan korupsi misalnya. Kebohongan akan menimbulkan kebohongan yang lain, lantas apa artinya membina keluarga, kehancuran masa depan anak – anak dan keluarga nyata di depan mata, sungguh penyesalan yang tiada guna.

Gajian, merupakan moment untuk mempererat hubungan antar keluarga, ya anak ya bapak ya ibu, semuanya, seperti yang pernah saya rasakan dulu, saat keluarga tempo dulu belum mengenal lebih jauh dengan yang namanya fasilitas kredit konsumtif.
Tanggal muda merupakan ‘moment’ yang kami tunggu – tunggu sebagai anak dari kedua orang tua kami. Sekedar mampir untuk beli es campurnya Pak Jon di sebelah bekas gedung bioskop atau terkadang makan bareng dengan Bapak di warung nasi gandulnya Bu Sapto di Jl Gambiran, sekali tempo makan rawon bersama keluarga di rawonnya Pak Brengos depan pasar, juga pada saat musim penghujan makan sate kambing muda di depan bekas gedung bioskop, kesemua ‘moment’ tersebut masih terengkam jelas di benak kami, anak – anak Bapak (suargi) dan Ibu saat menjalani masa sekolah di sebuah kota kecil di penghujung paling timur propinsi Jawa Tengah.

Pesannya;
Gajian, semestinya tidak hanya sebesar enam puluh prosen saja yang kita bawa pulang!

Sekian,

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Kemajuan pesat Mas. Njenengan Sudah aktif & rajin sekali menulis di blog. Yang penting nikmati & turuti kata hati dalam menulis...Menulis itu rasanya sudah seperti bernafas.

....Merdeka ...!!!

Gus-Nhanks mengatakan...

Thanks Mas Tomcat, ...orang boleh pandai setinggi langit,tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah :Pramoedya Ananta Toer