Selasa, Desember 30, 2008

Empat tahun silam ketika ada sedikit rejeki, kami mencoba untuk berinvestasi dengan membeli sebuah rumah mungil di pinggiran kota tempat tinggal kami. Harapan kami saat itu dengan membeli rumah di lingkungan menengah bawah, uang yang kami miliki akan berkembang lebih cepat melebihi kecepatan inflasi dan bunga deposito.

Sengaja rumah tidak kami kontrakkan dengan beberapa pertimbangan yang salah satunya adalah takut uang hasil kontrakkan tidak mampu menutup kerusakkan yang akan ditimbulkan. Serta apabila akan kami jual kembali rumah masih terlihat baru meski telah berselang beberapa tahun, karena meteran PLN maupun PDAM masih menunjukkan angka “NOL”. Pasti para calon pembeli lebih tertarik dan beranggapan bahwa membeli rumah bekas tapi masih “perawan”. Apalagi pemilihan lokasi sangat tepat, yaitu berada di depan play ground dan tidak jauh dengan jalan utama komplek perumahan.

Namun kami harus kecewa, karena harga tidak terapresiasi sesuai dengan harapan meskipun banyak kelebihan yang kami tawarkan. Hal ini kami jadikan sebagai pelajaran dan semakin bertekad bulat untuk menjual rumah tersebut meskipun tidak “untung”. Kami lupa bahwa daya beli di sana memang sangat terpengaruh oleh kondisi perekonomian belakang ini.

Pesan orang tua tetap kami jalankan, rumah dijual harus tergantikan dengan rumah, jangan sampai hilang tak berbekas. Artinya menjual rumah jangan dipakai untuk kebutuhan konsumtif seperti misalnya merenovasi rumah utama dan membeli mobil atau meng up grade mobil lama menjadi mobil baru.


Rasanya semuanya serba kebetulan, pada saat kami sedang mengincar satu komplek perumahan di tengah kota dengan system cluster atau one gate, rumah mungil tadi laku terjual setelah enam bulan mengalami pasang surut penawaran.

Karena pergerakan suku bunga perbankan dan nilai tukar rupiah masih belum stabil, dan suku bunga perbankan tidak mungkin sampai sebesar nol persen seperti di negeri Sakura, maka kami beranggapan bahwa berinvestasi di bidang property masih relative aman dan menjanjikan. Terlebih yang akan kami bidik adalah perumahan menengah atas untuk ukuran kota satelit tempat kami tinggal.

Entah ini juga kebetulan lagi atau tidak. Belum selesai proses pembangunan rumah yang kami pesan datang seorang kawan sekaligus pejabat di kantor tempat kami bertugas yang membutuhkan kontrakkan rumah. Seperti gayung bersambut, kami relakan rumah baru kami untuk ditempati oleh orang lain meskipun semua detail rancangan merupakan hasil dari pemikiran kami. Kesangsian terhadap “nasib” rumah kami apabila dikontrak tertebus karena “kontraktor” adalah perusahaan tempat kami bertugas sedangkan penghuni adalah pejabat middle management. Jelasnya “nasib” rumah kami kelak relative dapat dipertanggung jawabkan oleh pihak “kontraktor” bahkan mungkin akan menjadi kontrakkan abadi perusahaan tempat kami bertugas.

Alkhamdulillah, rumah tersebut telah mampu mengangsur kewajiban KPR sampai dengan satu tahun ke depan, jadi kami tidak usah repot – repot memikirkan angsuran KPR untuk masa tersebut.
Kabar gembira yang lain kami peroleh dari pihak developer bahwa rumah sejenis nilainya telah terapresiasi dibandingkan nilai pada saat kami deal harga dengan pihak developer saat itu.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Semburan lumpur Petrochina itu ada dimana Mas ?
Dekat rumah enggak ...?

Ngomong - omong sudah dibaca e-booknya ?

Gus-Nhanks mengatakan...

deket kota sich tp sudah mampet, lg ta download lalu dibaca & dipelajari serta ditiru :)

Mas Achmad mengatakan...

Salam kenal Mas GUs-Nhanks, saya minta izin masukin ke daftar blog di masachmad.blogspot.com ya... TQ

Achmad

Gus-Nhanks mengatakan...

Mohon Maaf Mas Achmad......baru hari ini saya inget kalo masih punya blog he...he...he...